ads
John W. Santrock psikologi pendidikan edisi kedua Jakarta: kencana November 2007 edisi 2, cetakan 1, halaman 170 :Pengertian kultur adalah pola perilaku, keyakinan, dan semua produk lain dari kelompok orang tertentu yang diwariskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya.
Kultur dimaksud banyak, antara lain :
- Kultur sosial
Maksudnya,
iklim atau budaya yang lahir dari proses interaksi seseorang dengan
orang lain. Atau bergaulnya seseorang dengan orang lain, dalam lingkup
kecil maupun besar. Dengan anggota keluarga, dengan teman kerja, teman
belajar, dengan sesama aktivis da’wah, maupun dalam lingkup lebih luas
yaitu masyarakat. Kultur sosial punya dampak pada tingkat kemampuan
orang untuk berinisiatif, karena manusia punya tabiat “saling
terpengaruh dan mempengaruhi”. Pada umumnya anak-anak muda pecandu
narkoba, memulai inisiatif buruknya itu karena ajakan teman. Hal yang
sama juga terjadi pada kebiasaan merokok mereka. Mulanya diajak dan
ikut-ikutan teman.
Anak-anak yang hidup nyaman
dan serba berkecukupan sejak kecil, yang segala keperluannya siap sedia,
dan tidak dikenalkan Islam secara baik, umumnya punya daya inisiatif
beramal lebih kecil dari anak-anak yang lahir dalam keadaan susah, harus
membantu mencari nafkah, hidup serba kekurangan, dan diajarkan
norma-norma Islam. Karenanya, Rasulullah menasehati umatnya agar
sekali-kali latihan hidup susah, “Ikhsyausyinu, fainnanni’mata la tadumu.” Bersusah-susahlah, karena sesungguhnya nikmat Allah itu tidak selamanya (bersama kita).
Setiap
muslim, apalagi para aktivis da’wah harus pandai menyiasati kultur
sosialnya. Kita mesti tahu dengan siapa harus berteman. Tapi kita juga
harus pandai menjaga persaudaraan dengan orang-orang baik yang menjadi
mitra sosial kita, sesama muslim, maupun sesama da’i. Dari sana konsep
ukhuwah menjadi ladang penggalian inisiatif yang tak pernah kering. Maka
jangan heran, bila ada salafussalih yang mengatakan, “ikhwani ahabbu ilaiyya min ahlii.” Maksudnya, ikhwah, saudara-saudara seiman saya, kadang lebih aku cintai dari keluargaku sendiri. Ia memberi alasan, “lianna ikhwan Yudzakkiruni bil akhirah, wa ahli yudzakkiruni bid-dunya.” Sebab, menurutnya, “ikhwah saya mengingatkan saya tentang akhirat, sedang keluarga saya mengingatkan saya tentang dunia.”
Teman
adalah cermin dari wajah perilaku kita sendiri. Jangan sampai kultur
sosial itu merusak kemampuan inisiatif untuk beramal. Proses saling
mempengaruhi itu lambat atau cepat pasti terjadi. Tergantung siapa yang
lebih kuat. Rasulullah menegaskan, "Seseorang itu tergantung bagaimana
agama temannya." (HR. Tirmidzi).
- Kultur organisasi
Bila
orang bergabung dalam sebuah organsisai, termasuk organisasi da’wah, ia
akan memasuki kultur yang ada dalam organisasi tersebut. Tidak saja
itu, ia dituntut untuk mentaati kultur yang ada. Ada organisasi politik,
organisasi profesi, organisasi sosial, dan lain sebagainya.
Masing-masing punya kultur berbeda. Organisasi da’wah pun demikian, ada
organisasi kader da’wah, ada juga yang sebatas organisasi simpatisan
da’wah.
Salah satu budaya umum yang dikenal
dalam berorganisasi adalah soal lahirnya kebijakan. Pola yang biasa
dikenal adalah "dari atas ke bawah" (top-down), dan sebaliknya, dan
bawah ke atas (buttom-up). Sejauh mana dua pola ini dominan, sejauh itu
pengaruhnya terhadap daya inisiatif dalam berorganisasi itu. Karenanya,
dalam sebuah organisasi (jama’ah) da’wah, setiap muslim yang bergabung
di dalamnya, harus pandai mengasah inisiatif beramalnya. Jangan selalu
menunggu komando, tapi juga jangan kelewat agresif. Pelajari dan pahami
rambu-rambu organisasi da’wah yang ada, lalu berprestasilah semaksimal
mungkin, ada atau tidak ada perintah, dalam lingkup rambu-rambu itu.
Barangkali,
untuk memicu semangat inisiatif beramal shalih dalam sebuah organisasi,
bisa meminjam teori Mc. Waber. Ia membuat dua parameter untuk mengukur
kultur sebuah team atau organisasi. Yaitu, "orientasi hasil" dan
“refleksifitas sosial.” Keduanya digambarkan dalam dua buah garis yang
bersilangan. Ukuran yang dipakai adalah positif dan negatif. Dari sana
muncul empat kwadran. Kwadran pertama, team yang disfungsi karena hasil
kerjanya minus, dan suasana sosial dalam team juga minus. Kedua,
organisasi yang menyenangkan, karena suasana sosialnya saja yang positif
tapi orientasi hasilnya negatif. Ketiga, organisasi yang kaku. Karena
baik hasil maupun suasana sosialnya negatif semua. Adapun yang keempat,
dia sebut dengan “team yang berfungsi penuh” Karena hasilnya positif,
dan suasana sosialnya juga positif.
Apa yang
disampaikan Mc. Waber bukan hal yang baru dalam Islam. Rasulullah adalah
contoh pemimpin yang mendorong para sahabat sebagai para anggota
jama’ah da’wahnya unt.uk berprestasi, tidak saja di dunia, bahkan di
akhirat. ia bersabda, "Barangsiapa lambat amal-nya, tidak akan
dipercepat oleh nasabnya." Selain dorongan berprestasi, Rasulullah
menerapkan konsep ukhuwah sebagai aturan interaksi sosial. Karenanya,
bila kita tergabung dengan organisasi Islam, ataupun organisasi da’wah,
daya inisiatif kita harus terus kita asah. Agar lahir kultur organisasi
yang baik, bukan malah kultur yang mematikan budaya inisiatif.
- Kultur pekerjaan
Dalam
batas tertentu, jenis pekerjaan punya pengaruh kepada daya inisiatif
seseorang untuk beramal shalih. Sopir angkutan yang berpacu mengejar
tingginya setoran, mahasiswa yang berjibaku dengan diktat-diktat,
seorang pengusaha mapan, pedagang di lampu merah, pegawai negeri,
petani, dan lain sebagainya, punya kultur pekerjaan yang berbeda-beda.
Suasana kerja yang berbeda-beda itu memberi pengaruh berbeda pula kepada
tingkat inisiatif orang untuk melakukan amal shalih. Betapa banyak dari
mereka yang tidak punya inisiatif untuk shalat, misalnya, karena alasan
pekerjaannya. Padahal, sebenamya masalah utamanya adalah hati mereka,
bukan pekerjaan. Karenanya, setiap muslim maupun seorang da’i harus
mengenali betul karakter kultur pekerjaannya. Ia harus tahu seluk beluk
dan lika-liku pekerjaannya. Dari situ ia lantas punya pengetahuan yang
cukup untuk mengubah hambatan-hambatan inisiatif menjadi
pendorong-pendorong inisiatif untuk beramal shalih.
Maka,
pilihlah pekerjaan yang halal. Lalu kendalikan pekerjaan itu, dan
jangan sebaliknya, pekerjaan yang mengendalikan kita. Bila pekerjaan
berada di bawah kendali, kita akan bisa menjadwal diri untuk melakukan
kewajiban-kewajiban beragama kita maupun kewajiban-kewajiban da’wah
kita.
- Kultur dasar pendidikan
Latar
belakang kultur pendidikan kadang turut mempengaruhi daya inisiatif
seseorang untuk beramal shalih. Kultur ilmu-ilmu eksak mempengaruhi
kekuatan logika rasional lebih banyak dibanding ilmu-ilmu sosial.
Sebaliknya, ilmu-ilmu sosial punya dorongan akomodatif dan toleransi
yang lebih besar terhadap norma-norma tertentu. Apapun yang kita
pelajari, sedikit banyak akan membentuk kepribadian kita. Sebelum orang
melakukan pekerjaan atau beramal, pertama kali diawali oleh pemikiran.
Atau persepsinya tentang pekerjaan itu. Seperti kata Imam Ibnul Qayyim,
bahwa fikrah (pola pikir) itu mendahului pekerjaan. Atau seperti
ungkapan Ibnu Khaldun, "Kamu adalah seperti apa persepsi kamu tentang
kamu."
Bukan berarti ada pendidikan yang
mematikan inisiatif seseorang. Tapi masalahnya lebih kepada sejauh mana
seseorang dengan latar pendidikan tertentu tetap punya inisiatif beramal
shalih yang tinggi. Dan, itu membutuhkan kearifan dari setiap orang.
- Kultur bawaan lahir
Adakalanya,
matinya inisiatif beramal merupakan dampak dari karakter bawaan lahir.
Ada orang yang sejak lahir kemampuan berinisiatifnya lemah. Bisa karena
faktor genetis, bisa juga karena salah urus pada masa kecil. Faktor
genetis, yang oleh Rasulullah disebut dengan al-’irq memang
tajam. Setiap bayi lahir pasti mewarisi unsur-unsur tertentu dari gen
orang tua maupun kakek neneknya. Suatu hari seorang laki-laki datang
menemui Rasulullah. Ia mengadu karena anaknya hitam negro, padahal ia
dan istrinya tidak seperti itu. Rasululullah mengatakan, bisa jadi yang
negro adalah kakek-neneknya di atas yang jauh sekali pun.
Adapun
soal pembinaan sejak kecil, perhatian terhadap perkembangan kecerdasan
anak, akan mempengaruhi tingkat kemampuan mereka dalam berinisiatif
beramal. Baik kecerdasan intelektualnya, maupun kecerdasan emosinya.
Menurut para ahli, otak manusia, atau kecerdasan intelektualitas itu
bisa diperbaiki dan dibentuk hingga anak berusia sekitar delapan belas
tahun. Sedang kecerdasan emosi bisa dibenahi hingga usia tua sekalipun.