ads
Pengertian keputusan tata usaha Negara adalah suatu ketetapan tertulis
yang dikeluarkan oleh badan tata usaha Negara yang berisi tindakan hukum badan
tata usaha Negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang
menerbitkab akibat hokum bagi seorang atau badan hokum.
Sumber: Budiyanto, Dasar-Dasar Ilmu Tata Negara, Jakarta: Erlangga 2003 halaman 129
Pengertian Keputusan Tata Usaha Negara (beschikking) menurut Guru Besar Hukum Tata Negara UGM, Prof. Muchsan adalah penetapan tertulis yang diproduksi oleh Pejabat Tata Usaha Negara, mendasarkan diri pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, bersifat konkrit, individual dan final. Jika kita melihat definisi tersebut, maka terdapat 4 (empat) unsur Keputusan Tata Usaha Negara, yaitu:
- Penetapan tertulis;
- Dibuat oleh Pejabat Tata Usaha Negara;
- Mendasarkan diri kepada peraturan perundang-undangan;
- Memiliki 3 (tiga) sifat tertentu (konkrit, individual dan final).
- Akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata
Keputusan Tata Usaha Negara (beschikking), menurut Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, didefinisikan sebagai berikut:
“Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.”
Rumusan Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tersebut memiliki elemen-elemen utama sebagai berikut:
1. Penetapan tertulis;,Pengertian penetapan tertulis adalah cukup ada hitam diatas putih karena menurut penjelasan atas pasal tersebut dikatakan bahwa “form” tidak penting bahkan nota atau memo saja sudah memenuhi syarat sebagai penetapan tertulis.
2. (oleh) Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara;,Pengertian Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dirumuskan dalam Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, yang menyatakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penjelasan atas Pasal 1 angka 1 menyatakan yang dimaksud dengan urusan pemerintahan adalah kegiatan yang bersifat eksekutif.
Jika kita mendasarkan pada definisi Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara diatas, maka aparat pemerintah dari tertinggi sampai dengan terendah mengemban 2 (dua) fungsi, yaitu:
- Fungsi memerintah (bestuurs functie). Kalau fungsi memerintah (bestuurs functie) tidak dilaksanakan, maka roda pemerintahan akan macet.
- Fungsi pelayanan (vervolgens functie). Fungsi pelayanan adalah fungsi penunjang, kalau tidak dilaksanakan maka akan sulit mensejahterakan masyarakat.
Dalam melaksanakan fungsinya, aparat pemerintah selain melaksanakan undang-undang juga dapat melaksanakan perbuatan-perbuatan lain yang tidak diatur dalam undang-undang. Mengenai hal ini Philipus M. Hadjon menerangkan bahwa pada dasarnya pemerintah tidak hanya melaksanakan undang-undang tetapi atas dasar fries ermessen dapat melakukan perbuatan-perbuatan lainnya meskipun belum diatur secara tegas dalam undang-undang. Selanjutnya Philipus M. Hadjon menambahkan bahwa di Belanda untuk keputusan terikat (gebonden beschikking) diukur dengan peraturan perundang-undangan (hukum tertulis), namun untuk keputusan bebas (vrije beschikking) dapat diukur dengan hukum tak tertulis yang dirumuskan sebagai “algemene beginselen van behoorlijk bestuur” (abbb). Pengertian Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara janganlah diartikan semata-mata secara struktural tetapi lebih ditekankan pada aspek fungsional.
3. Tindakan hukum Tata Usaha Negara; Dasar bagi pemerintah untuk melakukan perbuatan hukum publik adalah adanya kewenangan yang berkaitan dengan suatu jabatan. Jabatan memperoleh wewenang melalui tiga sumber yakni atribusi, delegasi dan mandat akan melahirkan kewenangan (bevogdheit, legal power, competence). Dasar untuk melakukan perbuatan hukum privat ialah adanya kecakapan bertindak (bekwaamheid) dari subyek hukum (orang atau badan hukum). Pada uraian diatas yang dimaksud dengan atribusi adalah wewenag yang melekat pada suatu jabatan (Pasal 1 angka 6 Nomor 5 Tahun 1986 menyebutnya: wewenang yang ada pada badan atau pejabat tata usaha negara yang dilawankan dengan wewenang yang dilimpahkan). Delegasi adalah pemindahan/pengalihan suatu kewenangan yang ada, yang menurut Prof. Muchsan adalah pemindahan/pengalihan seluruh kewenangan dari delegans (pemberi delegasi) kepada delegataris (penerima delegasi) termasuk seluruh pertanggungjawabannya. Mengenai mandat Philipus M. Hadjon berpendapat bahwa dalam hal mandat tidak ada sama sekali pengakuan kewenangan atau pengalihtanganan kewenangan. Sedangkan Prof. Muchsan mendefinisikan mandat adalah pemindahan/pengalihan sebagian wewenang dari mandans (pemberi mandat) kepada mandataris (penerima mandat) sedangkan pertanggungjawaban masih berada ditangan mandans.
4. Konkret, individual dan Final;
Elemen konkrit, individual dan final barangkali tidak menjadi masalah (cukup jelas). Unsur final hendaknya dikaitkan dengan akibat hukum. Kriteria ini dapat digunakan untuk menelaah pakah tahap dalam suatu Keputusan Tata Usaha Negara berantai sudah mempunyai kwalitas Keputusan Tata Usaha Negara. Kwalitas itu ditentukan oleh ada-tidaknya akibat hukum.
5. Akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Elemen terakhir yaitu menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata membawa konsekuensi bahwa penggugat haruslah seseorang atau badan hukum perdata. Badan atau pejabat tertentu tidak mungkin menjadi penggugat terhadap badan atau pejabat lainnya.
Klasifikasi Keputusan Tata Usaha Negara (Beschikking)
Para sarjana hukum menggunakan istilah yang berbeda-beda untuk mengartikan “beschikking”. E. Utrecht menyebutnya “ketetapan”, sedangkan Prajudi Atmosudirdjo menyebutnya “penetapan”.
Pengelompokan istilah tersebut antara lain oleh: Van der Wel, E. Utrecht dan Prajudi Atmosudirdjo.
1. Van der Wel membedakan keputusan atas:
a. De rechtsvastellende beschikkingen;
b. De constitutieve beschikkingen yang terdiri atas:
1) Belastende beschikkingen (keputusan yang member beban);
2) Begunstigende beschikkingen (keputusan yang menguntungkan);
3) Statusverleningen (penetapan status).
c. De afwijzende beschikkingen (keputusan penolakan).
2. E. Utrecht membedakan ketetapan atas:
a. Ketetapan Positif dan Negatif
Ketetapan Positif menimbulkan hak dan kewajiban bagi yang dikenai ketetapan. Ketetapan Negatif tidak menimbulkan perubahan dalam keadaan hukum yang telah ada. Ketetapan Negatif dapat berbentuk: pernyataan tidak berkuasa (onbevoegd-verklaring), pernyataan tidak diterima (niet-ontvankelijk verklaring) atau suatu penolakan (awijzing).
b. Ketetapan Deklaratur dan Ketetapan Konstitutif
Ketetapan Deklaratur hanya menyatakan bahwa hukumnya demikian (recthtsvastellende beschikking) sedangkan Ketetapan Konstitutif adalah membuat hukum (rechtscheppend).
c. Ketapan Kilat dan Ketetapan Tetap (blijvend)
1) Menurut Prins, ada empat macam Ketetapan Kilat: ketetapan yang berubah mengubah redaksi (teks) ketetapan lama;
2) Suatu Ketetapan Negatif;
3) Penarikan atau pembatalan suatu ketetapan;
4) Suatu pernyataan pelaksanaan (uitverbaarverklaring);
5) Dispensasi, izin (vergunning), lisensi dan konsesi.
3. Prajudi Atmosudirjo, membedakan dua macam penetapan yaitu penetapan negatif (penolakan) dan penetapan positif (permintaan dikabulakan). Penetapan negatif hanya berlaku sekali saja, sehingga seketika permintaannya boleh diulangi lagi. Penetapan Positif terdiri atas lima golongan yaitu:
a. Yang menciptakan keadaan hukum baru pada umumnya;
b. Yang menciptakan keadaan hukum baru hanya terhadap suatu objek saja;
c. Yang membentuk atau membubarkan suatu badan hukum;
d. Yang memberikan beban (kewajiban);
e. Yang memberikan keuntungan.
Penetapan yang memberikan keuntungan adalah:
1) dispensasi, yaitu pernyataan dari pejabat administrasi yang berwenang, bahwa suatu ketentuan undang-undang tertentu memang tidak berlaku terhadap kasus yang diajukan seseorang di dalam surat permintaannya;
2) izin (vergunning), yaitu dispensasi dari suatu larangan;
3) lisensi, yaitu izin yang bersifat komersial dan mendatangkan laba;
4) konsesi, yaitu penetapan yang memungkinkan konsesionaris mendapat dispensasi, izin, lisensi, dan juga semacam wewenang pemerintahan yang memungkinkannya untuk memindahkan kampung, membuat jalan raya dan sebagainya. Oleh karena itu pemberian konsesi haruslah dengan kewaspadaan, kewicaksanan, dan perhitungan yang sematang-matangnya.