Pengertian konsistusi RIS adalah

by vega , at 20.15 , has 0 komentar
ads
Pengertian konsistusi RIS adalah peraturan /undang-undang yang berlaku
saat Indonesia menjadi Negara serikat. Sistematiak konstitusi RIS adalah
sebagai berikut.

1.   Mukadimah terdiri dari 4 aline/paragraph.
2.   Batang Tubuh terdiri dari 6 baba dan 197 pasal.
3.   Tidak ada



Konstitusi RIS 1949

A.    Latar Belakang Terbentuknya Negara Republik Indonesia Serikat
Setelah Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945 Belanda masih merasa mempunyai kekuasaan atas Hindia Belanda yaitu Negara bekas jajahan masih dibawah kekuasaan Kerajaan Belanda , dengan alasan :
a. Ketentuan Hukum Internasional
Menurut Hukum Internasional suatu wilayah yang diduduki sebelum statusnya tidak berubah, ini berarti bahwa Hindia-Belanda yang diduduki oleh Bala Tentara Jepang masih merupakan bagian dari Kerajaan Belanda, oleh karena itu setelah Jepang menyerah, maka kekuasaan di Hindia-Belanda adalah Kerajaan Belanda sebagai pemilik/ penguasa semula.
b. Perjanjian Postdan
Yaitu pernjajian diadakan menjelang berakhirnya Perang Dunia II yang diadakan oleh Negara Sekutu dengan phak Jepang, Italia dan Jerman, perjanjian ini menetapkan bahwa setelah Perang Dunia II selesai, maka wilayah yang diduduki oleh ketiga Negara ini akan dikembalikan kepada penguasa semula.
Atas dasar perjanjian di atas, maka Belanda merasa memiliki kedaulatan atas Hindia-Belanda secara De Jure. Akibat adanya pandangan ini yang kemudian menimbulkan konflik senjata antara Tentara Rakyat Indonesia (TRI) dengan NICA pada tanggal 10 Nopember 1946 di Surabaya (Bewa Ragawino, 2007: 82-82). Untuk mengakhiri konflik ini, maka diadakan perundingan antara Indonesia dengan Belanda pada tangga 25 Maret 1947 di Linggarjati (Perundingan Linggajati) yang antara lain menetapkan :
1. Belanda mengakui RI berkuasa secara de facto atas Jawa, Madura dan Sumatra, di wilayah-wilayah lain yang berkuasa adalah Belanda.
2. Belanda dan Indonesia akan bekerja sama membentuk RIS.
3. Belanda dan Indonesia akan membentuk Uni Indonesia Belanda.
Hasil perundingan ini sesungguhnya merugikan bangsa Indonesia karena kedaulatan wilayah Indonesia semakin sempit. Selain itu, timbul penafsiran yang berbeda antara Belanda Indonesa mengenai soal Kedaulatan Indonesia-Belanda, yaitu :
1. Sebelum RIS terbentuk yang berdaulat menurut Belanda adalah Belanda, sehingga hubungan luar negeri/ Internasional hanya boleh dilakukan oleh Belanda.
2. Menurut Indonesia sebelum RIS terbentuk yang berdaulat adalah Indonesia, terutama Pulau Jawa, Madura dan Sumatra sehingga hubungan luar negeri juga boleh dilakukan oleh Indonesia.
3.     Belanda meminta dibuat Polisi bersama, tetapi Indonesia menolak.
Dalam diktat Bewa Ragawino (2007: 83), akibat adanya penafsiran ini terjadi Clash I (Agresi Militer I) pada tanggal 21 Juli 1947 dan Clash II (Agresi Militer II) tanggal 19 Desember 1948. Menurut Indonesia, Belanda menyerbu dan melanggar wilayah Negara Republik Indonesia yang telah diakuinya sendiri sehingga hal tersebut diistilahkan dengan agresi. Sedangkan menurut Belanda terjadinya agresi militer Belanda adalah dalam rangka penertiban wilayah Kedaulatan Belanda. Bentrok senjata Indonesia-Belanda ini kemudian dilerai oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan melakukan genjatan senjata serta dibuat suatu perundingan baru di atas Kapal Renville tahun 1948 (Perjanjian Renville) yang menetapkan :
1. Belanda dianggap berdaulat penuh di seluruh Indonesia sampai terbentuk RIS.
2. RIS mempunyai kedudukan sejajar dengan Belanda.
3. RI hanya merupakan bagian RIS
Tindak lanjut dari Perjanjian Renville ini, maka pihak PBB merencanakan pengadaan Konferensi antara Negara Republik Indonesia dan Belanda guna membahas mengenai Republik Indonesia Serikat. Konferensi ini dinamakan Konferensi Meja Bundar (KMB) yang mana diadakan mulai tanggal 23 Agustus 1949 di S’Gravenhage (Den Haag). Terdapat tiga pihak yang terlibat dalam konferensi ini, yaitu: Negara Republik Indonesia, BFO (Byeenkomst voor Federal Overleg) dan Belanda, serta sebuah komisi PBB untuk Indonesia. Pada tanggal 2 Nopember 1949, KMB menghasilkan beberapa kesepakatan, yaitu meliputi:
1. Didirikannya Negara Republik Indonesia Serikat
2. Penyerahan (baca: pengakuan) kedaulatan oleh Pemerintah Kerajaan Belanda kepada Pemerintah Negara RIS yang terdiri dari tiga persetujuan induk, yaitu:
a. Piagam Pengakuan Kedaulatan oleh Pemerintah Kerajaan Belanda kepada Pemerintah Negara RIS
b. Statut UNI
c. Persetujuan Perpindahan
3. Didirikannya UNI antara Negara RIS dengan kerajaan Belanda.
Dalam Piagam Pengakuan Kedaulatan ditentukan bahwa hal itu akan dilakukan pada tanggal 27 Desember 1949 (Soehino, 1992: 44-54).
Sementara Konferensi Meja Bundar berlangsung, delegasi dari Negara Republik Indonesia dan Delegasi dari negara-negara BFO telah mebuat Rancangan Undang-Undang Dasar (RUUD) untuk Negara Republik Indonesia Serikat yang akan dibentuk nanti. RUUD tersebut kenudian disahkan oleh Pemerintah Negara Indonesia dan Komite Nasional Indonesia Pusat, dan disahkan pula oleh Pemerintah dan Badan Perwakilan Rakyat dari negara-negara BFO. Pengesahan itu tertera dalam Piagam Penandatanganan Konstitusi Republik Indonesia Serikat pada tanggal 14 Desember 1949, dan mulai berlaku pada hari pengakuan kedaulatan oleh Pemerintah Kerajaan Belanda kepada pemerintah negara Republik Indonesia Serikat, yaitu pada tanggal 27 Desember 1949 (Soehino, 1992: 54).
Jadi, pada tanggal 27 Desember 1949 berdirilah negara Republik Indonesia Serikat yang meliputi seluruh wilayah Indonesia, yaitu bekas wilayah Hindia Belanda dahulu dan Negara Republik Indonesia (berstatus sebagai negara bagian) (Soehino, 1992: 54).

B.    Sistem dan Perkembangan Ketatanegaraan Pemerintahan Republik Indonesia Sesuai Muatan Konstitusi RIS
1.    Sifat Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949
Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS) 1949 meskipun namanya tidak memakai kata “Sementara”, namun Konstitusi RIS 1949 ini dimaksudkan masih bersifat sementara (Soehino, 1992: 62). Hal ini dapat diketahui dari ketentuan Konstitusi RIS pada pasal 186 yang berbunyi “Konstituante (Sidang Pembuat Konstitusi) bersama-sama dengan pemerintah selekas-lekasnya menetapkan konstitusi Republik Indonesia Serikat yang akan menggantikan konstitusi sementara ini ”.
Sifat kesementaraannya ini, kiranya disebabkan karena Pembentuk UUD merasa dirinya belum representative untuk menetapkan sebuah  UUD, selain daripada itu disadari pula bahwa pembuatan UUD ini (Konstitusi RIS) dilakukan dengan tergesa-gesa sekedar dapat memenuhi kebutuhan sehubungan akan dibentuknya Negara Federal. Itulah sebabnya, maka menurut Konstitusi RIS itu sendiri, di kemudian hari akan dibentuk suatu badan Konstituante yang bersama-sama Pemerintah untuk menetapkan UUD yang baru sebagai UUD tetap yang lebih representative (Joeniarto, 1990: 65-66).
Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949 itu ternyata hanya berlaku kurang lebih 8 bulan saja, dari tanggal 27 Desember 1949 sampai tanggal 17 Agustus 1950. Selama 8 bulan berlakunya konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949 itu, bahwa konstitusi Republik Indonesia Serikat ditetapkan oleh konstituante bersama-sama pemerintah tidaklah pernah terwujud. Sekalipun ada ketentuan, bahwa konstituante bersama pemerintah seleks-lekasnya menetapkan konstitusi Republik Indonesia Serikat, namun sejarah ketatanegaraan Indonesia membuktikan, bahwa pengertian selekas-lekasnya itu tidak mencakup masa waktu yang kurang dari 8 bulan (Simorangkir, 1983: 63).
2.    Daerah Negara Republik Indonesia Serikat
Berdasarkan Konstitusi RIS pada bagian II mengenai Daerah Negara, ketentuan pasal 2, dinyatakan bahwa Republik Indonesia Serikat meliputi seluruh daerah Indonesia, yaitu daerah bersama:
a.    Negara Republik Indonesia, dengan daerah menurut status quo seperti tersebut dalam Perjanjian Renville tanggal 17 Januari tahun 1948;
Negara Indonesia Timur;
Negara Pasundan, termasuk Distrik Federal Jakarta;
Negara Jawa Timur;
Negara Madura;
Negara Sumatera Timur, dengan pengertian bahwa status quo Asahan Selatan dan Labuhanbatu berhubungan dengan Negara Sumatera Timur tetap berlaku;
Negara Sumatera Selatan.
b.    Satuan-satuan kenegaraan yang tegak sendiri:
Jawa Tengah;
Bangka;
Belitung;
Riau;
Kalimantan Barat (daerah istimewa)
Dayak Besar;
Daerah Banjar;
Kalimantan Tenggara; dan
Kalimantan Timur.
a dan b ialah daerah-daerah bagian yang dengan kemerdekaan menetukan nasib sendiri bersatu dalam ikatan federasi Republik Indonesia Serikat, berdasarkan yang ditetapkan dalam konstitusi ini, dan lagi,
c.    Daerah-daerah Indonesia selebihnya yang bukan daerah-daerah bagian
Dengan berdirinya negara Republik Indonesia Serikat berdasarkan Konstitusi RIS tahun 1949 itu, wilayah Republik Indonesia sendiri masih tetap ada di samping negara federal Republik Indonesia Serikat. Karena sesuai dengan pasal 2 Konstitusi RIS, Republik Indonesia diakui sebagai salah satu negara bagian dalam wilayah Republik Indonesia Serikat, yaitu mencakup wilayah yang disebut dalam Persetujuan Renville. Dalam wilayah federal, berlaku Konstitusi RIS, tetapi dalam wilayah Republik Indonesia sebagai salah satu negara bagian tetap berlaku UUD 1945 (Jimly Asshiddiqie, 2010: 37-38).
3.    Bentuk Negara Republik Indonesia Serikat
Dalam muatan Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949 maka dapat diketahui bahwa bentuk negaranya adalah Federal. Hal ini dapat dilihat  dalam Mukaddimah Konstitusi Republik Indonesia Serikat dalam alinea III yang mengemukakan antara lain: “Maka demi ini kami menyusun kemerdekaan kami itu dalam suatu Piagam negara yang berbentuk republik federasi, berdasarkan….”
Selain itu, dalam ketentuan pasal 1 ayat (1) Konstitusi RIS berbunyi, “Republik Indonesia Serikat yang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara hukum yang demokrasi dan berbentuk Federasi”.
Hal tersebut menegaskan bahwa Republik Indonesia Serikat memiliki bentuk negara federal.
4.    Alat Perlengkapan Negara
Ketentuan pada Bab III tentang Perlengkapan Republik Indonesia Serikat dalam ketentuan umum mengatur mengenai siapa-siapa yang menjadi alat perlengkapan negara Republik Indonesia Serikat. Ketentuan tersebut berbunyi: alat perlengkapan federal Republik Indonesia Serikat ialah:
a.    Presiden
b.    Menteri-menteri
c.    Senat
d.    Dewan Perwakilan Rakyat
e.    Mahkamah Agung Indonesia
f.    Dewan Pengawas Keuangan

Presiden dan menteri-menteri bersama-sama merupakan pemerintah (pasal 68 ayat (2)); Pemerintah dipilih oleh orang-orang yang dikuasakan oleh pemerintah daerah-daerah bagian (pasal 69 ayat (2)); pemerintah ini bertugas untuk melakukan penyeleggaraan pemerintahan federal (pasal 117 ayat (2)); dan bertanggungjawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintah (pasal 118 ayat (2)).
Senat ialah wakil dari setiap negara bagian (pasal 80 ayat 1); setiap negara bagian diwakili oleh dua orang senat (pasal 80 ayat 2); dan tugas senat adalah setiap anggota senat mengeluarkan satu suara dalam Senat (ketika permusyawaratan) (pasal 80 ayat 3). Anggota-anggota senat ditunjuk oleh pemerintah daerah-daerah bagian (pasal 81 ayat 1).
Dewan Perwakilan Rakyat dipilih berdasarkan aturan-aturan yang ada (pasal 111); anggota DPR terdiri atas 150 anggota untuk mewakili seluruh bangsa Indonesia (pasal 98). DPR memiliki hak interpelasi dan hak menanya (pasal 120) dan juga hak menyelidiki (pasal 121), hak ini dilakukan ketika meminta pertanggungjawaban kepada pemerintah.
Mahkamah Agung berfungsi pada bidang peradilan, sedang untuk susunan dan kekuasaannya diatur dalam UU (pasal 113). MA diangkat oleh Presiden dengan mendengarkan Senat (pasal 114 ayat 1).
Susunan dan kekuasaan Dewan Pengawas Keuangan diatur dalam UU (pasal 115). Dewan Pengawas Keuangan diangkat oleh Presiden dengan mendengarkan Senat (pasal 116 ayat 1).
5.    Sistem Pemerintahan Republik Indonesia Serikat
Dalam pasal 1 ayat (2) dijelaskan bahwa kekuasaan kedaulatan Republik Indonesia Serikat dilakukan oleh pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat.
Tugas penyelenggaraan pemerintah federal dijalankan oleh Pemerintah. Dalam ketentuan pasal 117 (2) dinyatakan bahwa Pemerintah menyelenggarakan kesejahteraan Indonesia dan teristimewa mengurus supaya konstitusi, UU Federal, dan peraturan-peraturan lain yang berlaku untuk Republik Indonesia Serikat.
Asas dasar atas kekuasaan penguasa diatur dalam ketentuan pasal 34 Konstitusi RIS yang berbunyi, “Kemauan Rakyat adalah dasar kekuasaan penguasa; kemauan itu dinyatakan dalam pemilihan berkala yang jujur dan dilakukan menurut hak pilih yang sedapat mungkin bersifat umum dan berkesamaan, serta dengan pemungutan suara yang rahasia ataupun menurut cara yang juga menjamin kebebasan mengeluarkan suara”.
Menurut pasal-pasal Konstitusi RIS 1949 sistem pemerintahan negara yang dianut adalah sistem pemerintahan Kabinet Parlementer. Dalam sistem ini, Kabinet bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat, dan apabila pertanggungjawaban itu tidak dapat diterima oleh Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dapat membubarkan Kabinet, atau Menteri yang bersangkutan yang kebijaksanaannya tidak dapat diterima oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Sebaliknya, apabila Pemerintah tidak dapat menerima kebijaksanaan Dewan Perwakilan Rakyat dan menganggap Dewan Perwakilan Rakyat tidak representative, Pemerintah dapat membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat; dan pembubaran ini diikuti dengan pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat yang baru (Soehino, 1992: 66).
Ketentuan pasal 118 Konstitusi RIS berbunyi, “(1) Presiden tidak bisa diganggu gugat; (2) Menteri-menteri bertanggungjawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintah, baik bersama-sama untuk seluruhnya, maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri dalam hal itu”. Dari ketentuan tersebut, Republik Indonesia Serikat dikatakan memiliki sistem pemerintahan parlementer karena yuridis formal yang ada mengatur bahwa Kabinet bertanggungjawab atas DPR. Hal tersebut sesuai dengan ciri sistem pemerintahan parlementer.
Namun, ketika pasal 122 Konstitusi RIS ditelaah, maka akan ditemukan penyimpangan dari sistem pemerintahan parlementer. Ketentuan pasal 122 Konstitusi RIS berbunyi, “Dewan Perwakilan Rakyat yang ditunjuk menurut pasal 109 dan 110 tidak dapat memaksa Kabinet dan masing-masing Menteri meletakkan jabatannya”. Muatan dari ketentuan tersebut berbeda dengan cirri-ciri sistem pemerintahan parlementer. Sudah disebutkan di atas bahwa cirri sistem parlementer adalah apabila pertanggungjawaban Menteri tidak dapat diterima oleh Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dapat membubarkan Kabinet, atau Menteri yang bersangkutan yang kebijaksanaannya tidak dapat diterima oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Jadi, di dalam penyelenggaraan ketatanegaraan RIS, ketika Kabinet tidak mampu mempertanggungjawabkan segala kebijakan yang telah dilakukannya maka pihak DPR tidak dapat berbuat apa-apa.
6.    Hubungan Negara dengan Rakyat
Di dalam suatu negara, dalam penyelenggaraan pemerintah negara tentu terjadi interaksi antara peguasa (pemerintah) dengan yang diperintah (Rakyat). dalam interaksi tersebut maka akan terjadi adanya hak dan kewajiban antara keduanya. Terkait hal tersebut, Konstitusi RIS mengatur pula hubungan antara negara (pemerintah) dengan rakyat. di dalam Konstitusi RIS, rakyat dijamin hak dan kebebasan dasar manusia. Hal tersebut dapat dilihat dalam Konstitusi RIS bagian V mengenai hak-hak dan kebebasan – kebebasan dasar manusia, yang diantaranya:
a.    Hak hidup  pasal 7 ayat 1
b.    Hak merdeka  meliputi hak politik (pasal 22), hak hukum (pasal 7 ayat 2-3), hak sipil (pasal 19, pasal 20)
c.    Hak memiliki  pasal 25, meliputi hak tentang pekerjaan (pasal 27 ayat 1) dan hak mendapatkan penghidupan yang layak (pasal 27 ayat 2)
Sedangkan rakyat Indonesia memiliki kewajiban yang tertera dalam pasal 31 yaitu “setiap orang yang berada di daerah negara harus patuh kepada UU termasuk aturan-aturan hukum yang tak tertulis, dan kepada penguasa-penguasa yang sah dan yang bertindak sah”.
Kewajiban dari pemerintah tertera pada ketentuan pasal 117 (2) dinyatakan bahwa Pemerintah menyelenggarakan kesejahteraan Indonesia dan teristimewa mengurus supaya konstitusi, UU Federal, dan peraturan-peraturan lain yang berlaku untuk Republik Indonesia Serikat.
Dari muatan Konstitusi RIS tersebut maka dapat dilihat bagaimana hubungan antara pemerintah dengan rakyat secara yuridis formal selam RIS berlangsung.

C.    Faktor-Faktor Penyebab Runtuhnya Negara Republik Indonesia Serikat
Sejak terbentuknya Negara Republik Indonesia Serikat di bawah kekuasaan Konstitusi RIS 1949 pada tanggal 27 Desember 1949, perjuangan bangsa Indonesia menentang susunan negara yang federalistik semakin kuat, rakyat Indonesia menghendaki susunan negara yang unitaris (kesatuan). Bentuk dari penentangan tersebut dilakukan rakyat Indonesia dengan menyampaikan tuntutan-tuntutan dan hal tersebut terjadi di berbagai daerah. Karena faktor kesamaan pemikiran ini, beberapa daerah bagian menggabungkan diri dengan negara Republik Indonesia. Hal ini dibenarkan dalam UU Darurat No. 11 Tahun 1950 tentang Tata Cara Perubahan Susunan Kenegaraan dari Wilayah Negara Republik Indonesia Serikat; LN No. 16 Tahun 1950 mulai berlaku 9 Maret 1950. UU Darurat tersebut sebagi pelaksanaan dari ketentuan pasal 44 konstitusi RIS. “Perubahan daerah sesuatu daerah bagian, begitu pula masuk ke dalam atau menggabungkan diri kepada suatu daerah bagian yang telah ada, hanya boleh dilakukan oleh sesuatu daerah-sungguhpun sendiri bukan daerah bagian- menurut aturan-aturan yang ditetapkan dengan UU federal, dengan menjunjung asas-asas seperti tersebut dalam pasal 43, dan sekedar hal itu mengenai masuk atau menggabungkan diri, dengan persetujuan daerah bagian yang bersangkutan” (Soehino, 1992: 73).
Akibat dari adanya penggabungan ini, maka negara Republik Indonesia Serikat terdiri dari tiga negara bagian yaitu meliputi negara Republik Indonesia, negara Indonesia Timur dan negara Sumatera Timur. Atas kejadian ini maka kewibawaan pemerintahan negara federal menjadi berkurang dan sebagai solusinya maka diadakan permusyawaratan antara pemerintah negara Republik Indonesia Serikat dengan Pemerintah Negara Republik Indonesia (meawakili negara Republik Indonesia, negara Indonesia Timur dan negara Sumatera Timur). Dari permusyawaratn tersebut dihasilkan keputusan bersama yaitu persetujuan 19 Mei 1950 yang pada pokoknya disetujui dalam waktu yang sesingkat-singkatnya untuk bersama-sama melaksanakan negara kesatuan dan untuk itu diperlukan sebuah undang-undang dasar Sementara dari kesatuan ini, yaitu dengan cara mengubah konstitusi RIS sedemikian rupa sehingga essentialia UUD 1945 yaitu antara lain pasal 27, pasal 29, pasal 33 ditambah bagian-bagian yang baik dari konstitusi Republik Indonesia Serikat termasuk didalamnya (Joeniarto, 1990: 71-72).

DAFTAR PUSTAKA

Asshiddiqie, Jimly. 2010. Konstitusi dan Konstistusionalisme Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.

Joeniarto. 1990. Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia. Yogyakarta: Bumi Aksara

Konstitusi Republik Indonesia Serikat Tahun 1950

Ragawino. Bewa. 2007. Diktat Hukum Tata Negara. Bandung: —-

Simorangkir, J.C.T. 1984. Penetapan Undang-Undang Dasar Dilihat dari Segi Hukum Tata Negara. Jakarta: Gunung Agung.

Soehino. 1992. Hukum Tata Negara: Sejarah Ketatanegaraan Indonesia. Yogyakarta: Liberty.
0 komentar Add a comment
Bck
Cancel Reply
Theme designed by Damzaky - Published by Proyek-Template
Powered by Blogger